![]() |
Jangan Tinggalkan Al-Qur'an |
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’ân itu sesuatu yang tidak diacuhkan". (QS. Al-Furqan: 30)
Al-Qur’ânadalah mukjizat Rasûlullâh yang senantiasa menemani umat Islam hingga akhir zaman. Al-Qur’ân adalah obat, petunjuk jalan, pembeda yang haq dan bathil, dan pedoman manusia dalam menjalani kehidupan. Di dalam Al-Qur’ân terdapat kehidupan yang dapat menyebarkan, mendorong, menggerakkan dan mengembangkan kehidupan di dalam hati dan realita aktivitas yang dapat disaksikan. (Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Qur’ân, 5/3171). Dan di dalamnya terdapat segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, dalam urusan kehidupan dunia dan agama mereka. (Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qur’ân al-‘Azhim 2/582).
Interaksi dengan Al-Qur’ân adalah kemestian apabila tidak ingin tersesat dari jalan yang lurus. Sejarah mencatat, kejayaan umat Islam berbanding lurus dengan tingkat interaksi umat dengan Al-Qur’ân. Jika tingi interaksi umat Islam dengan Al-Qur’ân, maka kejayaan, kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sudah pasti menjadi miliknya. Sebaliknya, jika jauh dari Al-Qur’ân, maka kesedihan, kekhawatiran dan kesengsaraan sudah pasti akan menimpanya, baik di dunia maupun di akhirat. (Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’diy, Taisir Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, 1/50).
Rasûlullâh mengingatkan kaumnya, bahwa membaca Al-Qur’ân adalah sarana paling mudah untuk meraih cinta Allâh . “Barangsiapa yang senang dengan cinta Allâh dan Rasul-Nya, hendaklah ia membaca Al-Qur’ân”. (HR. Ibnu ‘Adiy, Abu Nu’aim, Al-Baihaqiy, dll; Hasan, Shahihul Jami’ 6289). Bahkan ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Siapa saja yang mencintai Al-Qur’ân, maka ia akan cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya. (Ath-Thabrani no. 8658).
Bukti terbesar cinta kepada Al-Qur’ân, yaitu seseorang berusaha untuk mehamami, merenungi dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti kelemahan cinta kepada Al-Qur’ân adalah berpaling dan tidak merenungi maknanya. Ath-Thabari mengatakan, mentadaburi Al-Qur’ân adalah wajib, karena dengan jalan tadabburlah diketahui makna yang sesungguhnya. (Al-Qurthubi, Jami’ Ahkam Al-Qur’ân 5/290).
Meskipun Allâh dengan gamblang menjelaskan bahwa Al-Qur’ân adalah petunjuk (Al-Huda) dalam menjalani hidupnya, namun masih ada mereka yang mencari jalan lain. Mereka mengacuhkan Al-Qur’ân, tidak mau mengimaninya, merasa terganggu dengan bacaan Al-Qur’ân, bahkan menolak isi dan aturan yang ada di dalamnya. Mereka dengan beraninya mengatakan Al-Qur’ân tidak ilmiyah dan kedudukannya sama dengan kitab-kitab agama lain; merekapun tidak malu mengatakan bahwa Al-Qur’ân adalah alat untuk menjajah dan mengekang kebebasan (HAM), Al-Qur’ân hanya ucapan Muhammad. Fihi ghairul haq, min innahu sihr wa syi’ir, “Al-Qur’ân itu tidaklah benar, ia hanya sihir dan syair Muhammad”. Bahkan ada yang berusaha keras menghalangi seseorang untuk belajar dan mendalami Al-Qur’ân. (Al-Qurthuby, Jami’ Ahkam Al-Qur’ân 13/27).
Waspadai Perilaku Hajrul Qur’ân
Dalam Al-Qur’ân, Allâh menyebut orang yang meninggalkan Al-Qur’ân dengan sebutan “Mahjura; Hajrul Qur’ân”. Perilaku Hajrul Qur’ân (meninggalkan Al-Qur’ân) sering terjadi pada pada seseorang sesuai dengan kadar keberpalingan dia dari Al-Qur’ân, misalnya tidak meyakini kebenarannya, tidak mendengarkan dan tidak memperhatikannya.
Ada yang mengimaninya, tapi tidak mempelajarinya. Mempelajari kandungannya, tapi tidak membacanya. Ada pula yang membacanya, tapi tidak men-tadabburinya. Terkadang merenungi makna dan memahami ayat-ayat Al-Qur’ân, namun tidak mengamalkan isinya. Mereka tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’ân dan tidak mengharamkan apa yang diharamkannya. Menganggapnya sebagai wahyu, tapi tidak dijadikan aturan dan hukum dalam menjalani kehidupan. Mereka mencari ketenangan dan penyelesaian masalah dengan ucapan filosof, bukan dengan Al-Qur’ân. Semua itu adalah perilaku Hajrul Qur’ân (meninggalkan Al-Qur’ân).
Al-Hafizh Ibn Katsîr mengatakan: Allâh memberi khabar tentang keluhan Rasul-Nya, Muhammad : “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’ân ini sesuatu yang tidak diacuhkan”. (Al-Furqan: 30).
Keluhan itu terucap karena perilaku orang musyrik yang tidak mau diam, tidak memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur’ân. Sebagaimana firman Allâh : Dan orang-orang yang kafir berkata,’Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur’ân dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya”. (QS. Fushshilat: 26).
Bila Al-Qur’ân dibacakan, mereka tidak “ngngah”, membuat gaduh, brisik dan hiruk pikuk, serta perbuatan “sok sibuk, mengerjakan itu dan ini” atau perkataan lain yang secara sengaja dilakukan agar tidak mendengarnya. Perbuatan ini termasuk dalam katagori Hajrul Qur’ân (meninggalkan Al-Qur’ân).
Tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkan isi yang terkandung di dalamnya, atau hanya meyakini sebagian ayat yang dipandang mendukung pendapatnya, dan mengingkari ayat yang berseberangan pikirannya. Sikap demikian adalah Hajrul Qur’ân. Tidak mentadabburi (merenungkan) ayat yang dibaca, dan tidak berusaha memahaminya, itupun termasuk perbuatan “meninggalkan Al-Qur’ân”.
Demikian pula, jika tidak mengamalkan Al-Qur’ân, tidak melaksanakan perintah-perintahnya dan tidak menjauhi larangan-larangannya-pun termasuk makna Hajrul Qur’ân (meninggalkan Al-Qur’ân). Berpaling dari Al-Qur’ân kepada hal lain, seperti lebih senang dan tenang mendengar dan melantunkan sya’ir, musik, lagu atau nyanyian dari pada Al-Qur’ân, atau sibuk mempelajari perkataan, permainan, pembicaraan atau tuntunan yang diambil dari selain Al-Qur’ân, semua itu termasuk makna “meninggalkan Al-Qur’ân”. (Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qur’ân al-‘Azhim, Muhaqqiq: Samiy bin Muhammad Salamah, Dar Thayyibah, 1420, 6/108).
Ibn Qayyim Al-Jauziyah berkata, diantara perilaku Hajrul Qur’ân (meninggalkan Al-Qur’ân) antara lain:
a. Enggan mendengarkannya, mengimani, atau mendengarkannya dengan seksama.
b. Tidak mengamalkan kandungannya, dan berhenti atau tidak menghalalkan apa yang dihalalkan dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan, meskipun dia membaca dan mengakui beriman kepadanya.
c. Tidak bertahkim dan tidak pula menjadikannya sebagai landasan hukum, baik dalam masalah ushul (pokok) ataupun furu’ (cabang).
d. Tidak bertafakkur, tadabbur (memikirkan dan memahami kandungannya) dan tidak berupaya mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allâh dalam Al-Qur’ân.
e. Tidak menjadikannya sebagai obat penyembuh bagi berbagai macam penyakit hati dan fisik dan atau mencari obat penyembuh (jasmani dan rohani) selain Al-Qur’ân. (Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Fawaid, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1393, 1/82)
Meninggalkan Al-Qur’ân akan mejadikan pelakunya tenggelam dalam lumpur kesesatan yang nyata (An-Nisa: 60); Dadanya terasa sempit dan sesak, meskipun dia memiliki harta yang berlimpah (Al-An’am: 125); Terkekang dalam kehidupan yang sempit lagi sulit dan kelak akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan buta (Thaaha: 124); Mata hati merekapun buta, sehingga tidak memahami kebenaran (Al-Hajj: 46); Diperparah dengan bertambah kerasnya hati, sehingga tidak terkesan saat mendengar ancaman ataupun kabar yang baik (Al-Hadid: 16); Meninggalkan Al-Qur’ân adalah tindakan zhalim lagi hina (As-Sajdah: 22), bahkan syetan akan menjadi teman setianya dan selalu menyertai dalam setiap gerak geriknya (Az-Zukhruf: 36); Dan Allâh pun menjadikan dia lupa terhadap dirinya sendiri, sehingga dia tergolong orang-orang yang fasik. (Al-Hasyr: 19).
Imam Al-Baghawiy mengatakan fasik itu adalah orang yang keluar dari ketaatan dan bermaksiat kepada Allâh (Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, 4/25). Itulah beberapa bahaya meninggalkan dan melupakan Al-Qur’ân.
Oleh karena itu, Allâh memerintahkan kita untuk membaca Al-Qur’ân, mentadabburinya, memahaminya dan larangan meninggalkan Al-Qur’ân serta berpaling darinya. (Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qur’ân al-‘Azhim, 7/320). Selain itu ada kewajiban untuk mengamalkannya. Ibnul Qayyim dalam Zâdul Ma’âd bertutur, “Sebagian salafush shalih mengatakan, sesungguhnya Al-Qur’ân turun supaya diamalkan. Maka jadikanlah membaca Al-Qur’ân sebagai wujud pengamalannya. Oleh karena itu, Ahlul Qur’ân adalah orang yang memahami Al-Qur’ân dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya, walaupun ia tidak menghafalkannya. Sedangkan orang yang menghafalnya namun tidak memahaminya, serta tidak mengamalkan kandungannya, meskipun dia sangat perhatian dalam pengucapan huruf-hurufnya, maka dia tidak layak menyandang predikat Ahlul Qur’ân. (Ibnul Qayyim, Zâdul Ma’âd, I/338).
Az-Zarkasyi berkata, “Ketahuilah, seseorang yang Allâh ajarkan padanya Al-Qur’ân, baik seluruhnya atau sebagian, hendaknya menyadari kedudukan nikmat ini. Yakni, Al-Qur’ân merupakan mukjizat terbesar, karena ia senantiasa eksis dengan keberadaan da’wah Islam. Dan juga, karena Rasûlullâh merupakan penutup para nabi dan rasul. Jadi, hujjah Al-Qur’ân akan senantiasa ada di setiap zaman dan waktu, karena Al-Qur’ân merupakan Kalâmullah dan kitab-Nya yang paling mulia. Maka, orang yang dianugerahi Al-Qur’ân hendaknya memandang, bahwa Allâh telah memberikan nikmat yang agung kepadanya. Hendaknya dia menyadari dengan perbuatannya, bahwa Al-Qur’ân akan membelanya, dan bukan justru menuntutnya.” (Badruddin Muhammad bin ‘Abdillah bin Buhadir az-Zarkasyiy, Muhaqqiq: Muhammad Abu al-Fadhil Ibrahim, Al-Burhân fi Ulum Al-Qur’ân, 1/449). Wallâhu a’lam.
Penulis adalah Al-Fakir Ilallah,
Direktur Lembaga Tahsin dan Tahfizh Al-Qur’an (LTQ);
Staff Bidang Kaderisasi Dewan Da’wah Pusat.